‘Discovery-driven planning’
Filed under: Entrepreneurship, Innovation, Strategy, Finance — itpin @ 7:48 am
Melalui forum konsultasi di blog ini, saya sering mendapatkan email yang menanyakan cara untuk memulai usaha baru. Untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut sungguh tidak mudah karena untuk memulai sebuah usaha baru banyak yang harus dipertimbangkan, mulai dari minat dan kompetensi pribadi, suasana kompetisi, strategi pemasaran, sampai ke kesiapan mental dan risk profile sang calon wiraswasta. Dan yang tak kalah pentingnya adalah menyusun proyeksi finansial yang sering disebut dengan analisis proforma.
Ketika hendak memulai sebuah usaha atau proyek baru, untuk menghitung proyeksi laba/rugi, cara yang paling umum dipakai adalah menghitung berapa modal awal yang harus ditanamkan. Setelah itu kita akan memperkirakan berapa harga jual, harga pokok penjualan, volume penjualan, dan biaya-biaya rutin bulanan. Dari sana kita akhirnya bisa menentukan berapa kira-kira keuntungan yang bisa diperoleh. Cara tersebut memang sudah umum dipakai, apalagi dengan bantuan aplikasi komputer seperti Microsoft Excel yang sangat memudahkan what-if analysis.
Namun ketika proyeksi seperti di atas bertemu dengan dunia nyata yang semakin tidak pasti, tidak perduli dibuat oleh analis sepintar apapun dan dengan bantuan sistem informasi secanggih apapun, kemungkinan meleset jauh tetap ada. Lihat saja kegagalan Walt Disney Company yang gagal dalam proyek prestisiusnya di Euro Disney, Prancis; atau FedEx yang merugi sekitar $600 juta USD dalam peluncuran produk Zapmail yang akhirnya dihentikan; atau Polaroid yang harus membuang sia-sia uang sebesar USD 200 juta dalam peluncuran produk perekam gambar bergerak instan. Daftar tersebut hanyalah sebagian kecil dari kegagalan demi kegagalan yang menimpa semua jenis perusahaan yang sebenarnya sudah melakukan perencanaan matang dari awal.
Kegagalan metode perencanaan seperti di atas disebabkan karena usaha atau proyek baru memiliki perbedaan besar dengan usaha yang sudah berjalan. Pada usaha yang sudah berjalan di atas relnya, pemakaian metode proyeksi di atas sah-sah saja karena banyak asumsi-asumsi dasar yang sudah diketahui. Perusahaan tinggal melakukan sedikit penyesuaian tahunan, misalnya dengan menyesuaikan tingkat inflasi atau estimasi suku bunga bank. Tetapi untuk usaha baru, banyak asumsi-asumsi yang masih kabur. Karena itu, sebuah metode perencanaan yang berbeda harus dipergunakan. Metode baru ini tentu harus memenuhi persyaratan metode sebelumnya yang memungkinkan perhitungan laba/rugi, tetapi yang lebih penting lagi, metode ini juga harus mendaftarkan semua asumsi-asumsi penting yang dipakai agar asumsi-asumsi tersebut bisa diuji secara berkala untuk mengurangi ketidakpastian.
Berangkat dari kebutuhan seperti itulah, Rita Gunther McGrath dari Columbia Business School dan Ian C. MacMillan dari Wharton Business School memperkenalkan metode perencanaan yang disebut sebagai discovery-driven planning (DDP). Berbeda dengan pemakaian metode perencanaan konvensional yang memulai perhitungan dari modal, pemasukan, dan pengeluaran untuk menghitung laba; perencanaan dengan metode DDP memulai perencanaan dari laba terlebih dahulu. Jadi, pertama-tama kita tentukan dulu laba yang hendak kita peroleh melalui usaha baru ini. Setelah itu barulah kita bergerak mundur dengan menentukan nilai parameter-parameter lain yang harus dipenuhi untuk mencapai laba tersebut.
Sebagai contoh: Anda menginvestasikan Rp. 1 milyar ke sebuah usaha baru. Karena bunga deposito berada di kisaran 15%, Anda menentukan laba tahunan 24% sebagai pengembalian minimal. Berarti, Anda menginginkan laba bersih sebesar Rp. 240 juta/tahun (atau Rp. 20 juta/bulan). Dari sinilah Anda memulai DDP dengan menjawab pertanyaan berikut: Berapa nilai dari parameter-parameter penting (seperti marjin keuntungan, harga jual, dlsb) yang harus dipenuhi untuk mendapatkan laba bersih Rp. 20 juta/bulan?
Anda misalnya bisa memulai dengan menghitung biaya bulanan seperti gaji karyawan, biaya listrik, biaya sewa kantor, dlsb yang relatif tetap. Katakanlah semua biaya-biaya tersebut sekitar Rp. 10 juta/bulan. Berarti untuk mendapatkan laba bersih Rp. 20 juta/bulan, Anda harus mendapatkan laba kotor Rp. 30 juta/bulan. Setelah melalakukan sedikit survei pasar, Anda tiba pada kesimpulan margin keuntungan yang masuk akal di industri tersebut adalah 15%. Bila harga pokok penjualan diperkirakan sebesar Rp. 10.000/unit, maka Anda akan mendapatkan laba kotor Rp. 1.500/unit. Nah, untuk mendapatkan Rp. 30 juta/bulan, Anda harus menjual 20.000 unit/bulan. Bila setiap pelanggan rata-rata mengambil 1.000 unit/order, maka Anda harus mendapatkan 20 order/bulan.
Dari perhitungan-perhitungan di atas, Anda telah mendapatkan sejumlah asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar usaha tersebut bisa dijalankan, seperti: marjin keuntungan per unit 15%, harga pokok penjualan Rp. 10.000/unit, penjualan minimal 20.000 unit/bulan, rata-rata jumlah pemesanan 1.000 unit, dan jumlah pemesanan 20/bulan. Itulah asumsi-asumsi yang harus Anda daftarkan. Dengan mendaftarkan asumsi-asumsi tersebut, Anda akan lebih mudah mencari informasi-informasi tambahan yang dibutuhkan untuk menguji apakah asumsi-asumsi tersebut memang masuk di akal. Benarkah Anda bisa menjual 20.000 unit/bulan? Apakah benar rata-rata pemesanan 1.000 unit? Lakukanlah riset lebih lanjut atau eksperimen skala kecil untuk memverifikasi beberapa asumsi bersangkutan. Ketika Anda menemukan adanya asumsi yang salah, Anda bisa kembali melakukan perhitungan untuk mencari tahu apakah usaha tersebut memang masih layak untuk diteruskan.
Contoh di atas memang terlalu disederhanakan, namun yang penting adalah mengetahui prinsip yang dipergunakan. Berlawanan dengan metode perencanaan konvensional, DDP memaksa kita untuk “belajar” melalui pengujian asumsi-asumsi yang pada metode perencanaan konvensional selalu dianggap sebagai fakta. Untuk program-program pengembangan usaha atau produk baru yang serba tidak pasti, DDP ini jelas lebih cocok karena telah memasukkan unsur ketidakpastian dan pengujian asumsi-asumsi yang penting ke dalam proses perencanaan. Dengan melakukan DDP secara disiplin, resiko kegagalan bisa dikurangi. Bila setelah berjalan beberapa bulan dan Anda menemukan adanya asumsi dasar yang salah, dan setelah perhitungan ulang dengan data baru yang lebih akurat tersebut menunjukkan Anda tidak mungkin untung, Anda bisa memutuskan berhenti dengan cepat atau merubah secara drastis strategi awal Anda sebelum semua investasi Anda habis.
Selamat mencoba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar